Kebijaksanaan dalam Implementasi Syariat

Suatu malam yang melelahkan pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pekerja pulang dengan harapan bisa segera beristirahat. Tapi beberapa dari mereka yang sudah seharian penat bekerja tetap menyempatkan diri salat jamaah isya dengan sahabat kesayangan Nabi, Mu’adz bin Jabal RA. Harapannya tentu banyak, mungkin salat mereka akan lebih mudah diterima.

Tanpa diduga, Sahabat Mu’adz RA yang telah terbiasa salat bersama Nabi ini memanjangkan salatnya. Beliau tidak membaca surat pendek setelah fatihah. Yang beliau baca adalah surat al-Baqoroh, yang jika kita baca agak cepatpun menyelesaikan surat tersebut paling tidak butuh waktu hingga dua jam. Beliau memilih surat tersebut mungkin karena membaca Alquran dalam salat pahalanya lebih banyak sepuluh kali lipat dibandingkan diluar salat. Sahabat Mu’adz RA beritikad sangat baik, untuk mengajak kaumnya meraih pahala dan rahmat sebanyak mungkin. Juga agar terhindar dari ancaman dalam firman Allah SWT,  wa idzâ qâmû ilassholâti qâmû kusâlâ. Mereka, kaum munafik bila menjalankan salat dilakukan dengan perasaan berat. Terlebih salat isya, waktu untuk beristirahat setelah seharian mencari nafkah.
Tapi ada orang yang sudah sangat lelah sampai-sampai tidak mampu mengikuti jamaah hingga selesai. Orang tersebut memilih untuk memisahkan diri, mufâraqah, dan menyelesaikan salat seorang diri. Lalu pulang sebelum jamaah salat benar-benar selesai.
Ketika sahabat Mu’adz mengakhiri salat beliau, beliau tahu ada orang yang mufâraqah. Beliau mengatakan kepada makmum yang tersisa bila dalam diri orang tersebut terdapat bibit-bibit kemunafikan. “Dia itu orang munafik.” Kata sahabat Mu’adz RA.
Kritikan sahabat Mu’adz RA tersebut akhirnya sampai juga di telinga orang yang melakukan mufâraqah. Ia lalu mengadukan kejadian malam itu kepada Nabi Muhammad SAW. Segera, Nabi memanggil sahabatnya tersebut. Tidak senang dengan apa yang dilakukan sahabat Mu’adz RA, Nabi menegur beliau. “Apakah kau akan jadi penebar fitnah wahai Mu’adz? Kalau kau mengimami orang-orang, bacalah surat wassyamsyi wadhuhâhâ, sabbihisma rabbikal a’lâ, Iqra’ bismirabbik, dan wallaili idzâ yaghsyâ.” Nabi menyuruh sahabatnya ini untuk jangan lagi memanjangkan salatnya ketika memimpin jamaah. Bacalah surat yang pendek-pendek saja.[1]
***
Tak ada yang salah dengan itikad baik sahabat Mu’adz RA. Beliau tentu juga ingin jamaahnya mendapatkan kebaikan lebih dengan lebih banyak ibadah. Namun bukan seperti itulah wajah Islam sebenarnya. Nabi justru menegur sahabat beliau ini ketika “menampakkan” Islam adalah agama yang memberatkan umatnya. Memang benar, secara nalar semakin lama salat dijalankan, pahalanya akan semakin besar, yang akhirnya juga akan lebih menguntungkan, karena semakin banyak “bekal” yang bisa dibawa kelak di akhirat. Tapi Nabi tidak memerintahkan itu. Beliau justru menyuruh untuk memendekkan salat. Banyak pertimbangan lain yang dianggap lebih penting.
Kita sering terjebak dengan pandangan sekelompok golongan, bahwa jika kita ingin menjadi muslim yang kaffah, konsekuensinya juga harus mengamalkan sunnah Nabi seutuhnya. Beribadah dengan luar biasa, membaca sirah dan sejarah kehidupan Nabi untuk dipraktikkan hari ini. Dan banyak pandangan lain. Padahal, jika kita semakin memahami Islam, kita seharusnya tidak terjebak dalam “kejumudan” berfikir akan teks Alquran dan hadis. Jika kita semakin memahami Islam, seharusnya kita bisa semakin menemukan kedamaian seperti yang dijanjikan Nabi: menemukan wajah Islam yang indah dan rahmatan lil ‘âlamîn. Banyak yang memaksakan diri, menjalankan ritual ibadah siang malam, hingga mengabaikan lingkungan di sekitarnya. Tak peduli pada kondisi masyarakat. Padahal jika ia mengenal Islam lebih dalam, ibadah itu bisa digantikan dengan fadhailul a’mal yang lebih ringan. Tafakkaru sâ’ah, khoirun min ‘ibâdati sanah. Bertafakkur sesaat, lebih baik dari pada beibadah setahun penuh. Menjalankan salat Isya berjamaah pahalanya setara dengan mengisi ibadah separuh malam. Salat subuh berjamaah pahalanya sama dengan qiyamul lail semalam suntuk. Dan lain sebagainya. Kita tahu bahwa Nabi tidak menghabiskan seluruh waktunya diatas sajadah, tapi beliau juga bersosialisasi, dan hidup bermasyarakat dengan menampakkan wajah Islam: akhlaqul karimah.
Banyak dari kawan yang memvonis agama kawan lainnya yang sesama muslim tidak sempurna. Memvonis mereka tidak Islam “seratus persen” hanya karena melakukan beberapa hal, atau meninggalkan beberapa hal. Dan yang kini sering terjadi, memvonis NKRI bukan negri muslim yang kaffah, gara-gara tidak mampu menerapkan naskah Alquran dan hadis seutuhnya. Banyak dari mereka yang tidak sadar dengan contoh kecil, bahwa kita tidak bisa menghukumi salat seseorang tidak kaffah, bahkan tidak sah, hanya karena tidak mampu berdiri dalam salat. Salat dengan duduk juga termasuk ajaran Islam yang murni. Walaupun tidak nampak seperti umumnya salat yang biasa dilakukan. Demikian, NKRI sejatinya adalah wajah Islam yang kaffah. Hanya beberapa orang salah memahami beberapa hal. Beberapa pertimbangan –disebut amr kharij—juga harus kita pandang. Seperti kasus salat Isya sahabat Mu’adz RA.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin telah menuliskan “mutiara” indah untuk kita renungkan. Bahwa dalam bersyariat kita juga harus mempertimbangkan apa yang disebut dengan akhlaqul karimah. Karena tidak semua hal yang dibolehkan menurut syariat, bahkan dianjurkan oleh syariat pantas untuk dilakukan dalam beberapa kondisi.
“Kewajiban itu ada dua. Kewajiban menurut syari’at, dan kewajiban menurut muru’ah serta kebiasaan.”[2]
Kita tidak bisa mengabaikan salah satunya. Apalagi dua-duanya. Apa yang dicontohkan Nabi kepada sahabat Mu’adz RA sejatinya memenuhi dua kewajiban tersebut. Sementara Nabi menutup “lubang kosong” yang dibuat sahabat Mu’adz RA karena mengabaikan kewajiban secara muru’ah (moral) dan ‘adat (kebiasaan). Meskipun Islam menganjurkan memanjangkan bacaan salat, tapi tidak disunnahkan dilakukan ketika memimpin jamaah. Karena melanggar etika moral. Mungkin saja disitu ada pekerja yang sudah kelelahan dan ingin segera beristirahat. Jika kita bisa memahami Islam demikian, tentu Islam semakin nampak indah. Bukan memahami dengan latah seperti memahami hadis amar makruf secara mentah. Lalu bertameng hadis sahih tersebut, dimana-mana “menebar ketakutan” dengan berteriak lantang “haram!”. Yang ada akan timbul persepsi masyarakat awam, lebih-lebih non muslim bahwa Islam itu “menakutkan”.
(مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ  (رواه مسلم
“Barang siapa yang diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tak mampu maka dengan lisannya, jika tak mampu maka dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah iman terendah.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut, sejatinya menjelaskan marâtib, derajat amar makruf. Jika masih mungkin, kita lakukan dengan tangan, jika tidak kita bicarakan baik-baik, jika tidak cukup tidak sepakat dalam hati. Tapi banyak yang memahami keliru lalu menggaris bawahi kalimat falyughayyirhu biyadihi, dengan harapan menjadi seorang muslim yang kaffah, sempurna. Mengabaikan kalimat fabiqalbihi. Tidak rela cukup dengan diam saja. Padahal jika kita pahami, kita diam saja, namun tidak setuju atas kemunkaran saja sudah termasuk amar makruf yang kaffah. Dalam arti, itulah yang mampu kita lakukan, maka jangan berharap lebih, sebab nantinya mungkin timbul masalah baru. Ulama salaf, bahkan walisongo tentu tahu ada kemungkaran disekitar mereka. Tapi dengan cara bijak kemungkaran itu dirubah. Akhirnya dakwah mereka berhasil, dan tercipta pemahaman bahwa Islam adalah agama yang indah. Inilah maksud keterangan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin beliau. Menerapkan syari’at dengan bijak, dalam praktiknya tidak hanya menegakkan kewajiban syariat yang dibebankan Allah SWT kepada kita dengan tangan besi, namun mempetimbangkan kewajiban moral dan akhlaqul karimah yang menjadi tanggung jawab kita kepada masyarakat.
Dahulu, Nabi Muhammad SAW tidak melarang orang Majusi menikahi saudara semahramnya. Beliau beralasan, menikahi mahram menurut agama Majusi diperbolehkan, meskipun dalam Islam dilarang. Inilah wajah Islam sebenarnya yang tidak begitu dipahami. Jika kita mengiblat peristiwa ini ke Indonesia, Indonesia akan aman. Sebab melakukan hal-hal yang menurut agama lain diperbolehkan, namun dalam Islam tak boleh dilakukan sebenarnya tidak boleh kita larang. Karena kata “haram” tidak diukur dengan ideologi, akidah, apalagi pemahaman sendiri. Kita akhirnya bisa menyebarkan dakwah bil hal, dakwah dengan etika dan akhlak terpuji yang memberikan kesan kepada dunia bahwa Islam adalah agama ramah, bukan agama yang marah. Sungguh alangkah indahnya Islam, jika kita bisa mengetahui hakikat Islam lebih dalam lalu menerapkan syariahnya dengan bijaksana.

[1] Disarikan dari HR Muslim nomor 465. Hal 210/1.
Syarah Muslim 183/4. Darul Minhaj.
[2] Ihya   (3/ 260)
Ittihafus Sadatul Muttaqin 205/8. Darul Fikr.

0 Komentar