Penulisan Kitab Shahih Bukhori


Kitab “Jami’ Shahih” atau yang lebih dikenal dengan kitab Shahih Bukhari, ditulis oleh Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari (w. 256 H.). Dalam menyelesaikan kitab monumental ini, al-Bukhari menjalani beberapa tahap: pengumpulan, penyusunan bab, dan seleksi riwayat.
“Aku menyempurnakan kitab Jami’ Shahih selama 16 tahun,” kenang al-Bukhari saat menceritakan bagaimana ia menyelesaikan kitabnya. “Aku menyusunnya dari 600 ribu hadis sahih yang kukumpulkan dari berbagai belahan dunia. Aku menjadikan hadis-hadis ini sebagai hujjah antara diriku dan Allah.”
Setelah usaha kerasnya mengumpulkan ratusan ribu hadis itu, ia lalu menyusunnya sedemikian rupa, hingga sempurna seperti yang kita pegang sekarang. Namun, sebelum kitab Shahih Bukhari ini benar-benar sempurna, ia menghaturkan kitabnya kepada ulama besar di zamannya, di antaranya kepada Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, dan Ali bin al-Madini. Tujuannya tak lain agar karyanya mendapat legitimasi dari manusia yang memang berkompeten di bidang hadis.
Kitab Shahih Bukhari ini ditulis ulang oleh ribuan santrinya. Namun, hanya enam riwayat yang bisa ditemukan hingga kini.
Pertama, riwayat Thahir bin Muhammad bin Makhlad. Riwayat ini tidak banyak diceritakan sejarah. Keberadaannya juga masih simpang siur.
Kedua, riwayat Ibrahim bin Ma’qil an-Nasafi. Riwayat ini sempat dikritik karena ada 300 hadis dari Shahih Bukhari yang tidak tercantum dalam catatan yang dibuatnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa an-Nasafi hanya mendapatkan riwayat Shahih Bukhari sebatas ijazah saja.
Ketiga, riwayat al-Husain bin Isma’il al-Mahamili. Al-Mahamili adalah salah satu murid terakhir al-Bukhori di kota Baghdad. RIwayat ini banyak diikuti oleh ulama lain. Sayangnya, riwayat ini hanya mencakup bagian akhir dari Shahih Bukhari.
Keempat, riwayat Hammad bin Syakir al-Warraq. Riwayat ini dinilai sebagai salah satu riwayat hadis Shahih Bukhari yang terlengkap, meskipun ada 200 hadis dari Shahih Bukhari yang tidak tercantum di dalamnya. Seperti halnya an-Nasafi, al-Warraq juga mendapatkan riwayat Shahih Bukhari hanya sebatas ijazah.
Kelima, riwayat Manshur bin Muhammad al-Bazdawi. Riwayat ini termasuk salah satu yang paling diikuti, karena ia adalah salah satu murid terakhir dari al-Bukhari. Di samping itu, ia memang meriwayat Shahih Bukhari secara sempurna. Namun, usianya yang terlalu muda saat meriwayatkan ratusan ribu hadis itu membuat beberapa pakar meragukan riwayatnya ini.
Terakhir, riwayat Muhammad bin Yusuf al-Firabri. riwayat inilah yang paling banyak dipakai ulama hadis hingga hari ini. Selain ia mencatatnya secara lengkap, ia juga mencatat Shahih Bukhari langsung dari sang imam sebanyak tiga kali, berturut-turut tahun 248 H. 254 H. dan 255 H..
Ada yang berpendapat bahwa al-Farabri mengambil langsung riwayatnya dari teks asli yang ditulis tangan oleh imam al-Bukhari. Tahun terakhir pencatatan al-Firabri terhadap kitab ini sangat dekat dengan tahun wafat al-Bukhari, yakni tahun 256 H.
Dari al-Firabri inilah, muncul empat periwayat handal yang nantinya akan menyempurnakan Shahih Bukhari, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hammuwaih, Muhammad bin Makki al-Marwazi, Muhammad bin Ahmad al-Marwazi, dan Ibrahim bin Ahmad al-Mustamli. Yang disayangkan oleh banyak pakar, keempat perawi ini menyempurnakan Shahih Bukhari hanya berdasar pada kadar kefahaman mereka masing-masing.
Sebenarnya bukan tanpa pertimbangan yang jelas mengapa keempat perawi ini melakukan hal tersebut. Ada beberapa celah tarajim (penerjemahan), serta naskah dan sanad yang belum sempurna dari naskah Shahih Bukhari yang mereka terima dari al-Firabri. Celah ini yang membuat mereka menyempurnakan riwayat sesuai dengan penelitian masing-masing.
Inilah mengapa banyak teks kitab Shahih Bukhari yang berbeda-beda. Belum lagi, terdapat satu riwayat lain yang dinisbatkan dari jalur periwayatan al-Farabri, yakni riwayat Ismail bin Muhammad al-Kusyani.
Proses periwayatan hadis-hadis Shahih Bukhari telah berjalan dengan demikian kompleks. Terlepas dari perbedaan langkah penyempurnaan yang ditempuh oleh murid-muridnya, kitab ini tetap layak menyandang sebagai kitab induk hadis paling shahih yang pernah ada. Betapa pun demikian, apakah lantas ini menjadikan kitab Shahih Bukhari tidak bisa dikritik?
Kelihatannya tidak juga. Al-Bukhari beberapa kali memilih hadis sebagai buah ijtihadnya dalam jarh wa ta’dil, mana yang harus dipilih dan mana yang layak dibuang.  Tentunya hal ini membuat kitab Shahih Bukhari tetap membuka ruang diskusi dan kritik yang sangat besar, terutama di dalam lingkup ulama ahli hadis.

0 Komentar