Nasihat bijak buat kita semua, di era milenial dan teknologi seperti ini janganlah mudah melempar wacana yang rumit kepada khalayak. Ilmu itu bagus untuk dipelajari, tapi gak semua ilmu itu bagus untuk didiskusikan di muka publik. Yang paling repot kalau sudah terjadi gagal paham, dan ujung-ujungnya paling adalah ujaran kebencian. Kalau sudah begini, akhirnya polisi turun tangan.
Wacana yang rumit, ditambah tidak adanya komunikasi yang baik (baca: tak mau tabayyun), adalah buah simalakama. Hal ini sudah lama diwanti. Jauh-jauh hari oleh ulama besar sekelas Imam Jalaluddin As-Suyuti. Dari begitu banyak buah karya beliau, satu diantaranya adalah kitab Taysirul Ijtihad. Beliau menjelaskan tentang konsep ijtihad yang waktu itu sedang ramai dibahas. Sedang viral dan jadi buah bibir. Lebih-lebih adanya gosip bahwa beliau dituduh mau mendirikan madzhab selain empat madzhab yang sudah ada. Tentu saja hal ini dibantah oleh beliau. Ijtihad itu bukan wacana sederhana, rumit dan pelik. Ditambah isu itu dilempar begitu saja ke masyarakat, katanya Imam Suyuthi mau membuat madzhab sendiri. Jadinya gagal paham. Lebih-lebih yang namanya orang awam tentu tak mau repot. Tak ingin dilibatkan dalam urusan yang rumit. Semuanya disederhanakan sesuai pemahaman yang mereka miliki. Sudah jangan diteruskan.
Beliau Imam Suyuthi mengisahkan cerita yang jadi renungan buat kita semua. Sebetulnya ini lebih ke semacam anekdot. Karena mau disikapi bagaimanapun, kesalahan pahaman ini agak lucu juga. Mirip sekali dengan kisah kita para netizen yang budiman. Yang sering tiba-tiba mengkritik dan menghujat orang tanpa tahu apa yang sebenarnya dibahas. Mau dijelaskan bagaimana, sebab mereka orang awam. Dan masalah yang jadi konflik adalah urusan rumit. Lebih-lebih tidak tabayyun dulu sebelum mereka, warganet berkomentar lebih jauh. Sudah lebih dulu menghakimi. Dan payahnya, kita dikekang undang-undang kebebasan berpendapat untuk melarang mereka berkomentar. Bisa ditambah kasus pelanggaran hak asasi manusia jika sampai ada yang melarang “mohon jangan komentari masalah ini”. Artinya kita yang salah. Seharusnya masalah rumit jangan dibawa ke muka umum. Intinya, baiknya hati-hati sebelum semua itu terjadi.
Kisah itu sudah lama sekali. Menurut cerita, Kadi Sirajuddin al-Himshy, beliau ini hidup sekitar abad ke tiga hijriyyah. Sekitar seribu tahun lalu. Beliau kedatangan seorang tamu. Kadi Sirajuddin al-Himshy adalah seorang pakar hadis madzhab Syafi’i. Dan tamunya adalah seorang pakar fikih terkemuka madzhab Hanafi yang berasal dari luar daerah. Seperti biasanya ahli ilmu, yang dibahas saat bertamu pastinya tentang ilmu. Kalau wakil rakyat yang dibahas tentunya politik. Kalau pengusaha, yang dibahas tak lain dan tak bukan pasti tak lepas dari hal bisnis. Beliau berdua mengobrol hangat, ngalor ngidul. Hingga sampai pada masalah apa hukumnya salat witir. Kalau menurut Kadi Sirajuddin al-Himshy, salat witir yang biasa kita lakukan selepas salat isya itu hukumnya sunah. Kita semua warga negara Indonesia juga tahu itu, karena madzhab kita Syafi’iyyah. Tapi lain lagi tamu Kadi Sirajuddin al-Himshy ini, madzhab beliau adalah Hanafi. Dan dalam madzhab Hanafiah salat witir hukumnya wajib. Akhirnya perdebatan menjadi agak “panas”. Tapi itu hal biasa bagi mereka yang sudah lama berkecimpung dalam dunia ilmiah. Bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Perbedaan fikih justru adalah rahmat. Tak perlu jadi sampai ada acara putus hubungan saudara.
Disinilah yang perlu dijelaskan. Konsep ushul fikih madzhab Syafi’iyah dan Hanafiah agak berbeda. Dalam Syafi’iyah hukum itu ada lima. Wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Tapi dalam Hanafiah hukum itu ada enam. Yang paling tinggi bukanlah wajib. Tapi fardhu. Jadi ada fardhu, wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Ulama Hanafiyah lebih mengklarifikasi perbedaan tendensi hadis sebagai pijakan hukum kepada hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir tidak mungkin palsu. Pasti asli, mengingat banyaknya perawi yang meriwayatkan. Sementara hadis ahad, meskipun sahih, karena yang meriwayatkan hanya satu orang tentu derajatnya dibawah hadis ahad. Makanya dibedakan juga kesimpulan hukum yang lahir. Orang awam tentu tak mau repot memahami silang istilah ini. Pokoknya yang sederhana saja.
Maka bagaimana jadinya kalau diskusi malam itu dibawa ke ranah publik? Pasti banyak yang gagal paham.
Itulah yang terjadi. Kadi Sirajuddin al-Himshy justru membawa diskusi beliau berdua itu ke depan khalayak. Di depan mimbar para jamaahnya, Kadi Sirajuddin al-Himshy mengatakan, “tahukah kalian semua perkara apa yang dibahas antara aku dan lelaki ini?” Para jamaah menjawab tak tahu. Lalu beliau melanjutkan, “aku katakan kalau Allah tidaklah mewajibkan selain salat lima waktu, tapi beliau ini ingin mewajibkan kepada kalian salat menjadi enam waktu.”
Maka gemparlah tempat itu. Para jamaah yang awam dan gagal paham langsung teriak macam-macam. Sampai-sampai ulama Hanafi tadi dituduh antek Syiah. “Dasar Syiah!”. Semua jadi runyam. Celakanya, jamaah yang murka dan terbawa emosi bahkan ada yang hampir saja melempari ulama Hanafiyah tadi dengan batu. Semua berawal dari gagal paham. Entahlah bagaimana akhir ceritanya. Sebab kitab Taysirul Ijtihad selesai sampai disitu.
Bukankah itu mirip kisah yang sering kita alami akhir-akhir ini? Ada isu keagamaan yang rumit, tiba-tiba sampai ke telinga masyarakat (baca: netizen), lebih-lebih ada hal yang belum jelas. Entah kenyataannya seperti apa, tapi yang jelas komentar buruk netizen tak mungkin terbendung. Jadi hati-hatilah mengumbar persoalan yang rumit kepada masyarakat, lebih-lebih masalah tentang isu agama. Sebelum semua terlambat. Lebih baik hal semacam itu dihindari. Alangkah lebih baik jika hanya dibahas di forum yang tepat, oleh orang yang tepat.
Bacaan: Taysirul Ijtihad karya Syaikh Jalaluddin As-Suyuti. Hal. 61.
0 Komentar